Sang Bangau dan Kera
Sang bangau punya kaki dan leher yang panjang.
Sayapnya kuat dan lebar sehingga ia mampu terbang tinggi dan jauh. Makanan
kesukaannya adalah kodok. Selain itu ia suka belalang, ulat pohon, dan bekicot. Sang bangau bersahabat dengan sang kera. Sang bangau sering membantu mencari kutu
sang kera. Jika bepergian jauh, sang bangau biasanya menerbangkan sang kera.
Akan tetapi, sang kera yang licik dan khianat selalu ingin enaknya saja.
Pernah sang kera minta tolong sang bangau untuk
menangkap ikan di sebuah kolam. Sementara sang bangau
bekerja, sang kera makan sampai kenyang. Setelah selesai, sang bangau hanya
mendapat bagian sedikit, karena sebagian telah disembunyikan terlebih dulu oleh
sang kera. Atas perlakuan yang demikian, sang bangau sudah tentu sakit hati.
Namun tidak sampai memutuskan hubungan. Mereka tampak rukun-rukun saja. Sampai
pada suatu hari sang kera ingin menipu sang bangau lagi. Sang kera ingin pergi
ke Pulau Medang yang terkenal buah sawonya. Tetapi
bagaimana caranya untuk bisa ke sana karena kera yakin tidak ada satu pun dari
temannya yang mau meminjamkan perahu kepadanya. Satu-satunya harapan adalah
sang bangau. Ia mencari akal bagaimana agar sang bangau mau menerbangkannya ke
Pulau Medang.
Pada saat kelaparan melanda
warga bangau, diajaklah sang bangau pergi ke Pulau Medang. Sang kera bercerita
bahwa di Pulau Medang pasti terdapat kodok yang banyak, karena pulau itu tidak
berpenghuni. Tanpa curiga sedikit pun, sang bangau tidak menolak tawaran sang
kera. Maka, ditentukanlah hari keberangkatan mereka. Keduanya berangkat dengan
penuh harapan memperoleh kehidupan yang layak di pulau seberang. “Bangau
sahabatku,” kata sang kera. “Sesampai di Medang nanti saya akan membuat perahu
dari tanah liat”. “Apakah kera sekarang sudah begitu pandai sehingga bisa
membikin perahu?” tanya sang bangau dengan nada tak percaya.
“Sudah lama saya pergi ke
negeri orang-orang pandai belajar membuat perahu. Sekarang saya baru bisa
membuat perahu dari tanah liat”, jawab sang kera. “Yang Penting, sang bangau
harus membantu saya mengumpulkan tanah liatnya,” lanjut sang kera.
Sesuai dengan kesepakatan,
pada suatu hari sang bangau berangkat menerbangkan sang kera menuju Medang
pulau harapan. Setelah beberapa saat terbang, tampaklah dari kejauhan Pulau
Medang yang menghijau. Di atas punggung sang bangau, sang kera telah
membayangkan buah-buah sawo yang harum baunya dan manis rasanya. Sang kera
menyuruh sang bangau terbang lebih cepat. Namun, apa daya. Sang bangau
kecapaian, tidak mampu terbang lebih cepat lagi. Apalagi sang kera
terus-menerus mengajak bercakap-cakap sambil duduk enak di atas punggung sang
bangau. Dengan sisa tenaga yang ada, akhirnya mereka sampai ke Pulau Medang.
Dengan napas terengah-engah sang bangau mendarat dengan selamat. Mereka beristirahat
sebentar menikmati pemandangan indah di pulau yang sunyi itu.
Sementara sang bangau masih
kelelahan setelah terbang dengan beban tubuh sang kera yang berat. Sang kera
sudah berada di atas pohon sawo dengan wajah berseri. Ia melompat dari pohon sawo
yang satu ke pohon sawo yang lain. Mulutnya mengunyah buah-buah sawo yang masak
tanpa berhenti. Kodok yang diperkirakan melimpah ruah tidak ada seekor pun.
Terpaksa sang bangau hanya berbaring melepaskan lelah. Sesekal, ia menangkap
kepiting kecil yang lewat di dekatnya. Namun, karena sang bangau tidak biasa
makan kepiting, perutnya terasa agak mual. Sementara itu, sang kera telah
tertidur di atas pohon. Perutnya tampak membiru tanda kekenyangan.
Setelah sang kera bangun,
berkatalah sang bangau, “Sang kera, Anda telah kenyang di sini. Makanan
berlimpah. Kodok dan belalang yang Anda janjikan tidak ada di sini. Oleh karena
itu, saya tidak mungkin tingggal di sini. Saya akan kembali ke kampung
halamanku. Dengan buah sawo yang berlimpah di sini, anda bisa hidup tujuh
turunan. Oleh karena itu, besok saya akan pulang. Saya akan menceriterakan
kepada warga kera tentang hutan sawo mu.
“Jangan begitu,” kata sang
kera. “Mana mungkin saya hidup sendirian di sini.”
“Tetapi saya tidak mungkin
hidup di daerah tanpa kodok seperti ini,” jawab sang bangau agak jengkel.
“Kalau begitu baiklah. Mari
terbangkan saya pulang ke kampung bersamamu,” ujar sang kera. “Maaf sang kera,
sayapku belum begitu pulih untuk bisa terbang dengan beban tubuhmu. Jangankan
terbang dengan sang kera. Terbang sendiri pun belum tentu kuat.”
“Kalau begitu kita tunggu saja
sampai Anda pulih kembali kekuatannya.” Sang bangau menjawab, “Mana mungkin aku
harus menunggu. Apa yang harus saya makan? Apa saya harus mati kelaparan di
sini sementara kamu punya buah sawo yang berlimpah? Saya kira kamu dapat pulang
sendiri dengan perahu. Kamu dapat membuat perahu kan.”
Sang kera tertunduk malu. la
ingat akan kebohongannya. Sebenarnya ia hanya punya sedikit keahlian membuat
perahu. Namun, karena malunya kepada sang bangau, ia berkata, “Kalau begitu
bantulah saya mencari tanah liat. Nanti saya yang menempanya.”
Singkat cerita, perahu itu sudah jadi. Mereka mendorong
ke tengah lautan, dan berangkatlah mereka berdua. Sang kera naik perahu dengan
perasaan takut sekali.
Sesekali, perahu itu diterjang
ombak. Wajah sang kera menjadi pucat. Sebaliknya, sang bangau selalu bernyanyi:
“Curcur humat, curcur hurnat, bila hancur saya selamat, bila hancur saya
selamat.”
Tentu saja sang bangau dapat
terbang jika perahu itu hancur diterpa ombak. Kemungkinan untuk hancur memang
ada, karena perahu itu hanya dibuat dari tanah liat oleh kera yang tidak ahli.
Sementara itu, mereka telah
berlayar jauh ke tengah lautan. Pulau Sumbawa
sebagai kampung halamannya telah tampak dari kejauhan. Tiba-tiba badai bertiup
dengan kencang. Hujan pun turun dengan lebat. Ombak lautan bergulung-gulung
menerpa perahu mereka. Dalam waktu yang singkat, perahu itu pecah berantakan.
Sang bangau segera terbang, sedangkan sang kera dengan susah payah mencoba
berenang. Namun, tubuhnya yang kecil tidak mampu melawan derasnya arus dan
besarnya gelombang lautan yang kian mengganas. Akhirnya, sang kera mati ditelan
ombak lautan.
Lautan tenang kembali. Nun di
atas langit tampak sang bangau terbang dengan tenang menuju kampung halamannya.
Posted by: Tessa Septaviani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar